Selasa, 25 Maret 2014

BELAJAR DARI KUMBAKARNA
Dalam wiracarita Ramayana, Kumbakarna (Sanskerta: कुम्भकर्ण; Kumbhakarṇa) adalah saudara kandung Rahwana, raja rakshasa dari Alengka. Kumbakarna merupakan seorang rakshasa yang sangat tinggi dan berwajah mengerikan, tetapi bersifat perwira dan sering menyadarkan perbuatan kakaknya yang salah. Ia memiliki suatu kelemahan, yaitu tidur selama enam bulan, dan selama ia menjalani masa tidur, ia tidak mampu mengerahkan seluruh kekuatannya.

Saat Rahwana,Kumbakrana dan Wibisana (tiga bersaudara) mengadakan tapa, Dewa Brahma muncul karena berkenan dengan pemujaan yang mereka lakukan. Brahma memberi kesempatan bagi mereka untuk mengajukan permohonan. Saat tiba giliran Kumbakarna untuk mengajukan permohonan, Dewi Saraswati masuk ke dalam mulutnya untuk membengkokkan lidahnya, maka saat ia memohon "Indraasan" (Indrāsan – tahta Dewa Indra), ia mengucapkan "Neendrasan" (Nīndrasan – tidur abadi). Brahma mengabulkan permohonannya. Karena merasa sayang terhadap adiknya, Rahwana meminta Brahma agar membatalkan anugerah tersebut. Brahma tidak berkenan untuk membatalkan anugrahnya, namun ia terkesan akan cinta kasih persaudaraan di antara mereka dan meringankan anugrah tersebut agar Kumbakarna tidur selama enam bulan dan bangun selama enam bulan. Pada saat ia menjalani masa tidur, ia tidak akan mampu mengerahkan seluruh kekuatannya. 

Awalnya Kumbakarna ingin meminta tahta Dewa Indra, dewa penguasa surga. Ketika akan mengucapkan tahta Indra (dalam Bahasa Sansekerta indrasaan) Dewi Saraswati bersthana di lidahnya sehingga ia malah mengucapkan nendrasaan yang dalam Bahasa Indonesia berarti tidur yang lama (hal ini atas permohonan Dewa Indra kepada Dewi Saraswati karena kekuatan tiga raksasa bersaudara ini hampir tidak tertandingi dan akan mengganggu keseimbangan kosmis,apalagi jika kekuasaan kerajaan Sorga sampai jatuh ke tangan ras raksasa).



Perang di Alengka dan Gugurnya Kumbakarna

Negara Alengka terdesak hebat oleh pasukan Rama dengan panglima perangnya Hanuman. Silih berganti, panglima perang negara Alengka terbunuh oleh pasukan Rama. Tinggalah Kumbakarna yang masih tenggelam dalam pertapaan-tidurnya. Kakaknya Rahwana, Raja Alengka, membangunkan sang Kumbakarna untuk memintanya menjadi panglima perang negara Alengka. Karena panglima perang sebelumnya, Indrajid anak lelaki kesayangan Rahwana, telah terbunuh dalam perang. Kumbakarna menolaknya mentah-mentah. Bahkan sebelumnya dia juga telah mengingatkan Rahwana agar mengembalikan Dewi Shinta yang diculiknya dari Rama, putra mahkota negara Ayodya, menurutnya penculikan tersebut bukan sifat ksatria.

Melalui dialog panjang penuh emosi antara adik dan kakak, antara raja dan begawan, akhirnya Kumbakarna bersedia menjadi panglima perang negara Alengka. Namun sang Begawan menyatakan kesediaannya ini tidak lain karena kecintaannya kepada negaranya. Kumbakarna pun akhirnya gugur bersama semangat patriotismenya membela negara Alengka yang terus digempur Pasukan Rama. Kumbakarna gugur bukan karena membela kakaknya Rahwana yang menculik Dewi Shinta, tetapi karena kecintaannya terhadap tanah tumpah darahnya. Dewa-dewi pun turun ke bumi menyambut arwah sang patriot ini dan menghantarkannya ke Swargaloka. Ini adalah kisah patriotis yang melegenda dalam kisah Ramayana.

Patriotisme ibaratnya tidak terpengaruh apakah pemimpin negaranya benar atau salah. "Right or wrong is my country". Patriotisme adalah kecintaan, kesetiaan, dan kebanggaan seseorang terhadap bangsa dan negaranya. Seorang patriot sejati akan menyatakan bahwa keutuhan bangsa dan negaranya adalah "harga mati". Ini tidak bisa ditawar! Patriotisme berasal dari kata "patriot" dan "isme" yang berarti jiwa atau semangat kepahlawanan. Seorang patriot memiliki sikap berani dan rela berkorban demi bangsa dan negara, sebagai martir pembela tanah air. Pengorbanan harta-benda dan jiwa-raga, segalanya.


Raksasa yang mencintai negerinya.

Kumbakarna adalah seorang raksasa yang memiliki wajah yang sangat menakutkan. Walau begitu sebenarnya ia memiliki hati yang baik. Ia adalah adik kandung Raja Rahwana, raja negeri Alengka. Sama seperti kakaknya, ia memiliki kekuatan yang sangat besar. 

Sebagai seorang ksatria yang berbudi luhur, ia sering memberi nasihat pada kakaknya, Prabu Rahwana agar menghentikan perbuatan jahatnya. Tapi raja negeri Alengka itu sering mengacuhkan nasihat adiknya tersebut, termasuk untuk mengembalikan Dewi Sinta kepada Sri Rama. Akhirnya, Raja Rahwana pun harus menemui kehancurannya karena sifat keras kepalanya ini.

Dewi Sinta (ada yang menyebutnya Sita) adalah seorang wanita cantik istri dari Sri Rama, pangeran dari negeri Ayodya. Sri Rama terkenal sangat sakti mandraguna. Selain itu ia juga bersahabat dengan Anoman, seekor kera putih yang juga sakti, yang kemudian menjadi panglima perangnya dalam upaya merebut kembali Dewi Sinta dari cengkraman Raja Rahwana.

Ketika Alengka diserbu oleh jutaan pasukan gabungan dari negeri Ayodya dan pasukan kera pimpinan Anoman, Kumbakarna sedang tertidur pulas. Dibutuhkan ratusan gajah untuk menginjak-injak tubuh raksasa gempal ini agar bisa terbangun. Setelah mengetahui Alengka sedang diserbu oleh pasukan kera dan pasukan Ayodya, ia pun memutuskan untuk bertempur di pihak Alengka. Mengapa Kumbakarna yang dikenal sebagai ksatria berbudi halus ini memilih bertempur melawan Sri Rama?

Kumbakarna bersedia memimpin pasukan Alengka semata-mata karena ingin berbakti pada negara tumpah darahnya. Ia tidak rela Alengka yang tak lain adalah tanah airnya di serang oleh pasukan asing. Dadanya semakin terbakar dan kemarahannya memuncak ketika melihat dengan mata kepala sendiri jutaan pasukan pimpinan Sri Rama dan Anoman itu terlihat begitu bersemangat untuk memasuki negerinya.

Kegagahan dan keberaniannya juga memicu kembali semangat tempur para tentara Alengka yang sebelumnya menjadi ciut nyali melihat keganasan Anoman memporak-porandakan benteng-benteng pertahanan Alengka. Sebagai panglima perang bergelar Mahawira (artinya sang ksatria gagah berani) Kumbakarna maju memimpin laskar Alengka untuk bertempur.

Ketika Kumbakarna maju menghadapi Rama dan pasukannya, Wibisana (adik Kumbakarna) memohon agar ia diberi kesempatan berbincang-bincang dengan kakaknya itu. Rama mengabulkan dan mempersilakan Wibisana untuk bercakap-cakap sebelum pertempuran meletus. Saat bertatap muka dengan Kumbakarna, Wibisana memohon agar Kumbakarna mengampuni kesalahannya sebab ia telah menyeberang ke pihak musuh. Wibisana juga pasrah apabila Kumbakarna hendak membunuhnya. Melihat ketulusan adiknya, Kumbakarna merasa terharu. Kumbakarna tidak menyalahkan Wibisana sebab ia berbuat benar. Kumbakarna juga berkata bahwa ia bertempur karena terikat dengan kewajiban, dan bukan semata-mata karena niatnya sendiri. Setelah bercakap-cakap, Wibisana mohon pamit dari hadapan Kumbakarna dan mempersilakannya maju untuk menghadapi Rama.

Kumbakarna berkata kepada adiknya, Wibisana : “Wahai adikku Wibisana, bagi kanda Rahwana engkau pengkhianat, tapi bagiku engkau punya alasan kuat dengan memilih jalan kebenaran. Dengan teguh engkau menjunjung kebenaran, meski untuk itu engkau harus menyeberang ke pihak lawan. Sama seperti dirimu, aku pun punya alasan yang benar untuk maju melawan musuh Alengka tanah airku.”

Epos ini sering dipilih untuk menggambarkan nasionalisme, entah nasionalisme teritoris seperti yang dimiliki oleh Kumbakarna (right or wrong, it’s my country) atau nasionalisme universalis seperti yang dimiliki oleh Wibisana, yang melihat kebenaran sebagai sesuatu yang absolut.

Akhir hidup Kumbakarna sangat mengharukan. Setelah berhasil membinasakan banyak tentara musuh, termasuk melukai Anoman, ia pun berhadapan dengan Sri Rama. Sebelumnya, para tentara Alengka selalu gentar ketika mendengar nama Sri Rama. Pangeran yang dipercaya sebagai titisan Mahadewa Wisnu ini memiliki senjata panah yang amat sakti, yang mampu menghancurkan apa saja. Tapi Kumbakarna tidak gentar sedikit pun.

Melihat kedahsyatan Kumbakarna, Sri Rama langsung memakai senjata andalannya. Dua tangan Kumbakarna pun putus akibat terkena anak panah Sri Rama. Tapi itu tidak cukup membuat panglima perang Alengka ini ciut. Dengan kedua kakinya, ia menginjak para kera pimpinan Anoman. Sri Rama pun memanah kedua kaki raksasa ini. Tetapi walau kaki dan tangannya telah putus pun Kumbakarna tetap menolak untuk menyerah. Dengan tubuhnya ia berguling-guling dan melindas para prajurit Sri Rama yang ingin menghancurkan negaranya. Akhirnya ia gugur dengan sangat terhormat ketika Sri Rama memutuskan lehernya menggunakan senjata panahnya. Kepala Raksasa ini pun terbang sampai ke ibukota Alengka.

Dan begitulah akhir kisah kepahlawanan Kumbakarna, apapun itu ambillah positifnya dan  JADILAH LEBIH BAIK......

(Dikisahkan oleh Ki Dalang Prabhu Angling Dharma)

Rabu, 19 Maret 2014

SENI MENYEMBUHKAN DIRI (GEDE PRAMA)



Perjumpaan dengan ribuan remaja di sesi meditasi membuka rahasia, terlalu banyak anak-anak remaja sekaligus orang tua yang memerlukan bantuan kesembuhan. Tanpa perbaikan berarti, masa depan bisa sangat mengkhawatirkan.

Bibit Memaafkan

Ciri utama para sahabat dengan beban mental yang berat kemudian jatuh sakit, mereka menggendong masa lalu demikian beratnya. Begitu beban itu jauh melebihi kemampuan, maka sakit yang menjadi tamu kehidupan kemudian.

Dan faktor terpenting yang membuat masa lalu demikian beratnya adalah ketidakmampuan seseorang untuk memaafkan. Padahal, dalam kadar yang berbeda semua orang memiliki masa lalu yang gelap. Bila orang biasa menggendongnya, para master sudah lama melepaskan gendongan ini di belakang.

Untuk itu tidak ada pilihan lain, memaafkan masa lalu serupa bibit kesembuhan yang ditanam di dalam. Caranya sederhana, kita tidak bisa kembali ke masa lalu dan memperbaikinya, tapi kita bisa merubah cara memandangnya. Begitu cara memandangnya berubah, hidup pun berubah. Dalam bahasa spiritual, tidak ada kebetulan, hanya bimbingan-bimbingan. Dengan berfokus pada bimbingan, maka cengkraman memori buruk masa lalu menjadi semakin longgar.

Air Penerimaan

Lebih-lebih bila cengkraman memori buruk masa lalu yang sudah mulai melonggar ini, kemudian disirami oleh air penerimaan. Di zaman di mana sulit sekali mencari orang yang layak dipercaya (trustless society), masih tersisa satu orang yang bisa mengerti diri kita secara utuh, yakni diri kita sendiri.

Dan diri kita bisa mengerti diri ini kalau kita belajar menerima diri ini apa adanya. Seperti bunda semesta menerima pohon kelapa bertumbuh di tempat panas, menerima pohon cemara bertumbuh di tempat sejuk, bagus sekali kalau bisa menerima bahwa semua kejadian memiliki waktu dan tempatnya masing-masing.

Kejadian baik adalah energi yang memotivasi. Kejadian buruk adalah pelajaran untuk semakin tahu diri. Menerima kejadian baik dan buruk sebagai sepasang pesan yang sama-sama membimbing, itulah air yang bisa disiramkan pada bibit kesembuhan yang sudah ditanam di dalam.

Bunga Kesembuhan

Di dunia kesembuhan, sudah lama dicatat bahwa kata health (kesehatan) berasal dari kata whole (keseluruhan). Kesembuhan mungkin terjadi, bila kita belajar mamandang semuanya - termasuk badan, pikiran, spirit - secara utuh dan menyeluruh.

Seperti sebuah pohon, sakit fisik serupa daun yang kering. Di balik daun kering sakit fisik ada batang ketidakseimbangan emosi. Dan akarnya adalah keterhubungan spiritual. Di tingkat keterhubungan spiritual, semuanya adalah satu (utuh). Sakit-sehat, senang-sedih, suka-duka semuanya adalah pasangan yang utuh.

Itu sebabnya, di sesi meditasi kerap diungkapkan kalau sakit-sehat, senang-sedih serupa gelombang. Dan kesembuhan lebih dekat dengan samudra. Perlu dicatat rapi, gelombang mana pun tidak pernah mengganggu samudra. Untuk itulah, kesembuhan di jalan meditasi sangat dekat dengan psikologi mengalir. Dalam bahasa meditasi: terima, mengalir, senyum. Pada waktunya, semua akan pulang ke samudra kesembuhan yang sama.

————–

Catatan:

1. Salah satu energi di alam yang membantu kita tersembuhkan dan terhubung adalah energi sukacita. Untuk itu, banyak bersyukur, ungkapkan doa terimakasih setiap hari tanpa mengenal henti. Habiskan lebih banyak waktu bersama anak-anak. Karena anak-anak menyimpan banyak energi sukacita

2. Belajar mengistirahatkan batin dalam keheningan. Sederhananya, kurangi menghakimi, lihat kesempurnaan yang ada di balik setiap ciptaan, ingat selalu bahwa semua adalah tarian kesempurnaan yang sama

3. Sekurang-kurangnya tiga kali seminggu, habiskan waktu di alam terbuka seperti taman, sungai, pantai, gunung, danau, dll. Belajar terhubung melalui rasa dan keheningan. Ada yang meneliti, hasilnya serupa dengan meminum obat anti depresi.
Top of Form