BELAJAR DARI KUMBAKARNA
Dalam wiracarita Ramayana, Kumbakarna (Sanskerta: कुम्भकर्ण;
Kumbhakarṇa) adalah saudara kandung Rahwana, raja rakshasa dari Alengka.
Kumbakarna merupakan seorang rakshasa yang sangat tinggi dan berwajah
mengerikan, tetapi bersifat perwira dan sering menyadarkan perbuatan kakaknya
yang salah. Ia memiliki suatu kelemahan, yaitu tidur selama enam bulan, dan
selama ia menjalani masa tidur, ia tidak mampu mengerahkan seluruh kekuatannya.
Saat Rahwana,Kumbakrana dan Wibisana (tiga bersaudara) mengadakan tapa, Dewa
Brahma muncul karena berkenan dengan pemujaan yang mereka lakukan. Brahma
memberi kesempatan bagi mereka untuk mengajukan permohonan. Saat tiba giliran
Kumbakarna untuk mengajukan permohonan, Dewi Saraswati masuk ke dalam mulutnya
untuk membengkokkan lidahnya, maka saat ia memohon "Indraasan"
(Indrāsan – tahta Dewa Indra), ia mengucapkan "Neendrasan" (Nīndrasan
– tidur abadi). Brahma mengabulkan permohonannya. Karena merasa sayang terhadap
adiknya, Rahwana meminta Brahma agar membatalkan anugerah tersebut. Brahma
tidak berkenan untuk membatalkan anugrahnya, namun ia terkesan akan cinta kasih
persaudaraan di antara mereka dan meringankan anugrah tersebut agar Kumbakarna
tidur selama enam bulan dan bangun selama enam bulan. Pada saat ia menjalani
masa tidur, ia tidak akan mampu mengerahkan seluruh kekuatannya.
Awalnya Kumbakarna ingin meminta tahta Dewa Indra, dewa penguasa surga. Ketika
akan mengucapkan tahta Indra (dalam Bahasa Sansekerta indrasaan) Dewi Saraswati
bersthana di lidahnya sehingga ia malah mengucapkan nendrasaan yang dalam
Bahasa Indonesia berarti tidur yang lama (hal ini atas permohonan Dewa Indra
kepada Dewi Saraswati karena kekuatan tiga raksasa bersaudara ini hampir tidak
tertandingi dan akan mengganggu keseimbangan kosmis,apalagi jika kekuasaan
kerajaan Sorga sampai jatuh ke tangan ras raksasa).
Perang di Alengka dan Gugurnya Kumbakarna
Negara Alengka terdesak hebat oleh pasukan Rama dengan panglima perangnya
Hanuman. Silih berganti, panglima perang negara Alengka terbunuh oleh pasukan
Rama. Tinggalah Kumbakarna yang masih tenggelam dalam pertapaan-tidurnya.
Kakaknya Rahwana, Raja Alengka, membangunkan sang Kumbakarna untuk memintanya
menjadi panglima perang negara Alengka. Karena panglima perang sebelumnya, Indrajid
anak lelaki kesayangan Rahwana, telah terbunuh dalam perang. Kumbakarna
menolaknya mentah-mentah. Bahkan sebelumnya dia juga telah mengingatkan Rahwana
agar mengembalikan Dewi Shinta yang diculiknya dari Rama, putra mahkota negara
Ayodya, menurutnya penculikan tersebut bukan sifat ksatria.
Melalui dialog panjang penuh emosi antara adik dan kakak, antara raja dan
begawan, akhirnya Kumbakarna bersedia menjadi panglima perang negara Alengka.
Namun sang Begawan menyatakan kesediaannya ini tidak lain karena kecintaannya
kepada negaranya. Kumbakarna pun akhirnya gugur bersama semangat patriotismenya
membela negara Alengka yang terus digempur Pasukan Rama. Kumbakarna gugur bukan
karena membela kakaknya Rahwana yang menculik Dewi Shinta, tetapi karena kecintaannya
terhadap tanah tumpah darahnya. Dewa-dewi pun turun ke bumi menyambut arwah
sang patriot ini dan menghantarkannya ke Swargaloka. Ini adalah kisah patriotis
yang melegenda dalam kisah Ramayana.
Patriotisme ibaratnya tidak terpengaruh apakah pemimpin negaranya benar atau
salah. "Right or wrong is my country". Patriotisme adalah kecintaan,
kesetiaan, dan kebanggaan seseorang terhadap bangsa dan negaranya. Seorang
patriot sejati akan menyatakan bahwa keutuhan bangsa dan negaranya adalah "harga
mati". Ini tidak bisa ditawar! Patriotisme berasal dari kata
"patriot" dan "isme" yang berarti jiwa atau semangat
kepahlawanan. Seorang patriot memiliki sikap berani dan rela berkorban demi
bangsa dan negara, sebagai martir pembela tanah air. Pengorbanan harta-benda
dan jiwa-raga, segalanya.
Kumbakarna adalah seorang raksasa yang memiliki wajah yang sangat menakutkan.
Walau begitu sebenarnya ia memiliki hati yang baik. Ia adalah adik kandung Raja
Rahwana, raja negeri Alengka. Sama seperti kakaknya, ia memiliki kekuatan yang
sangat besar.
Sebagai seorang ksatria yang berbudi luhur, ia sering memberi nasihat pada
kakaknya, Prabu Rahwana agar menghentikan perbuatan jahatnya. Tapi raja negeri
Alengka itu sering mengacuhkan nasihat adiknya tersebut, termasuk untuk
mengembalikan Dewi Sinta kepada Sri Rama. Akhirnya, Raja Rahwana pun harus
menemui kehancurannya karena sifat keras kepalanya ini.
Dewi Sinta (ada yang menyebutnya Sita) adalah seorang wanita cantik istri dari
Sri Rama, pangeran dari negeri Ayodya. Sri Rama terkenal sangat sakti
mandraguna. Selain itu ia juga bersahabat dengan Anoman, seekor kera putih yang
juga sakti, yang kemudian menjadi panglima perangnya dalam upaya merebut
kembali Dewi Sinta dari cengkraman Raja Rahwana.
Ketika Alengka diserbu oleh jutaan pasukan gabungan dari negeri Ayodya dan
pasukan kera pimpinan Anoman, Kumbakarna sedang tertidur pulas. Dibutuhkan
ratusan gajah untuk menginjak-injak tubuh raksasa gempal ini agar bisa
terbangun. Setelah mengetahui Alengka sedang diserbu oleh pasukan kera dan
pasukan Ayodya, ia pun memutuskan untuk bertempur di pihak Alengka. Mengapa
Kumbakarna yang dikenal sebagai ksatria berbudi halus ini memilih bertempur
melawan Sri Rama?
Kumbakarna bersedia memimpin pasukan Alengka semata-mata karena ingin berbakti
pada negara tumpah darahnya. Ia tidak rela Alengka yang tak lain adalah tanah
airnya di serang oleh pasukan asing. Dadanya semakin terbakar dan kemarahannya
memuncak ketika melihat dengan mata kepala sendiri jutaan pasukan pimpinan Sri
Rama dan Anoman itu terlihat begitu bersemangat untuk memasuki negerinya.
Kegagahan dan keberaniannya juga memicu kembali semangat tempur para tentara
Alengka yang sebelumnya menjadi ciut nyali melihat keganasan Anoman
memporak-porandakan benteng-benteng pertahanan Alengka. Sebagai panglima perang
bergelar Mahawira (artinya sang ksatria gagah berani) Kumbakarna maju memimpin
laskar Alengka untuk bertempur.
Ketika Kumbakarna maju menghadapi Rama dan pasukannya, Wibisana (adik
Kumbakarna) memohon agar ia diberi kesempatan berbincang-bincang dengan
kakaknya itu. Rama mengabulkan dan mempersilakan Wibisana untuk bercakap-cakap
sebelum pertempuran meletus. Saat bertatap muka dengan Kumbakarna, Wibisana
memohon agar Kumbakarna mengampuni kesalahannya sebab ia telah menyeberang ke
pihak musuh. Wibisana juga pasrah apabila Kumbakarna hendak membunuhnya.
Melihat ketulusan adiknya, Kumbakarna merasa terharu. Kumbakarna tidak
menyalahkan Wibisana sebab ia berbuat benar. Kumbakarna juga berkata bahwa ia
bertempur karena terikat dengan kewajiban, dan bukan semata-mata karena niatnya
sendiri. Setelah bercakap-cakap, Wibisana mohon pamit dari hadapan Kumbakarna
dan mempersilakannya maju untuk menghadapi Rama.
Kumbakarna berkata kepada adiknya, Wibisana : “Wahai adikku Wibisana, bagi
kanda Rahwana engkau pengkhianat, tapi bagiku engkau punya alasan kuat dengan
memilih jalan kebenaran. Dengan teguh engkau menjunjung kebenaran, meski untuk
itu engkau harus menyeberang ke pihak lawan. Sama seperti dirimu, aku pun punya
alasan yang benar untuk maju melawan musuh Alengka tanah airku.”
Epos ini sering dipilih untuk menggambarkan nasionalisme, entah nasionalisme
teritoris seperti yang dimiliki oleh Kumbakarna (right or wrong, it’s my
country) atau nasionalisme universalis seperti yang dimiliki oleh Wibisana,
yang melihat kebenaran sebagai sesuatu yang absolut.
Akhir hidup Kumbakarna sangat mengharukan. Setelah berhasil membinasakan banyak
tentara musuh, termasuk melukai Anoman, ia pun berhadapan dengan Sri Rama.
Sebelumnya, para tentara Alengka selalu gentar ketika mendengar nama Sri Rama.
Pangeran yang dipercaya sebagai titisan Mahadewa Wisnu ini memiliki senjata
panah yang amat sakti, yang mampu menghancurkan apa saja. Tapi Kumbakarna tidak
gentar sedikit pun.
Melihat kedahsyatan Kumbakarna, Sri Rama langsung memakai senjata andalannya.
Dua tangan Kumbakarna pun putus akibat terkena anak panah Sri Rama. Tapi itu
tidak cukup membuat panglima perang Alengka ini ciut. Dengan kedua kakinya, ia
menginjak para kera pimpinan Anoman. Sri Rama pun memanah kedua kaki raksasa
ini. Tetapi walau kaki dan tangannya telah putus pun Kumbakarna tetap menolak
untuk menyerah. Dengan tubuhnya ia berguling-guling dan melindas para prajurit
Sri Rama yang ingin menghancurkan negaranya. Akhirnya ia gugur dengan sangat
terhormat ketika Sri Rama memutuskan lehernya menggunakan senjata panahnya.
Kepala Raksasa ini pun terbang sampai ke ibukota Alengka.
Dan begitulah akhir kisah kepahlawanan Kumbakarna, apapun itu ambillah positifnya dan JADILAH LEBIH BAIK......
(Dikisahkan oleh Ki Dalang Prabhu Angling Dharma)